KISAH PRABOWO: PENGORBANAN PRABOWO UNTUK PRAJURIT MENGORBANKAN KEINGINAN DIRI SENDIRI
Liputan Faktual. Senin sore, saya bertemu Asaldin Gea di salah satu kawasan di sekitar
Grand Indonesia. Gea begitu panggilannya, seorang mantan prajurit
Kopassus dengan pangkat akhir Kapten TNI. Ia juga dikenal oleh banyak
tentara sebagai mantan ajudan Prabowo di zaman kemasannya. Usianya masih
terbilang muda, 43 tahun dan juga memilih mundur sebagai tanda
kesetiaannya pada sosok Prabowo.
Tetapi ia enggan bicara banyak alasan-alasan kemundurannya. Sebab ia sangat menghormati lembaga yang pernah membesarkannya itu. “Bicara TNI, sampai akhir hidup saya tetap menjadi kebanggaan meski saya memilih pensiun muda, itu privacy saya. Yang pasti kesetiaan ini tak terbatas untuk seorang jenderal bernama Prabowo Subianto,” katanya singkat.
Sembari diskusi kecil tentang pergerakan politik Pak Prabowo jelang Pilpres, tiba-tiba Gea tergelak setelah melihat treadmill yang dipajang di salah satu etalase. (treadmill; fasilitas olah raga lari dan jogging yang biasa dipakai di ruangan). “Bang, fasilitas treadmill seperti ini membuat saya pernah gemetaran di depan Pak Prabowo,” katanya sembari tertawa keras, seolah-olah ia mengingat sesuatu yang teramat lucu.
Gea kemudian bercerita panjang soal treadmill ini. Katanya, suatu waktu Pak Prabowo dari Jalan Cendana menyempatkan diri jalan-jalan ke kawasan Plaza Indonesia, dan mencoba menikmati treadmill. “Bagus juga fasilitas ini ya, olah raga bisa di ruangan saja?” kata Prabowo pada ajudannya itu. Gea hanya berkata “siap!” sebagai tanda setuju.
Pak Prabowo meminta Gea mengecek harga treadmill itu, siapa tahu bisa dibelinya. Namun ternyata barang itu tak jadi dibelinya. Entah karena alasan apa. Padahal di benak Gea sebagai ajudan, uang Prabowo cukup banyak untuk membeli barang itu. Tentu karena ia seorang perwira tinggi militer dengan posisi Danjen Kopassus, mantu Pak Harto dan anak dedengkot ekonomi besar bangsa ini. Sehingga tak ada alasan tidak cukup uang untuk membelinya.
Sepintas Gea berpikir jika komandannya itu, mungkin memilih waktu dan kesempatan lain untuk mendapatkannya. Karenanya ia tetap mengingat-ingat, kapan-kapan Pak Prabowo membutuhkan barang itu. Yang pasti Gea merasa barang itu sangat dibutuhkan Pak Prabowo, sehingga ia mencatatnya dalam buku hariannya, was-was jika ia sampai lupa dengan kebutuhan pimpinannya itu.
Jelang sepekan setelah ‘acara mencoba’ Treadmill di Plaza Indonesia, di suatu malam Prabowo kedatangan seorang perwira logistik dari sebuah kesatuan pasukan yang pernah dipimpin Pak Prabowo beberapa tahun sebelumnya. Karenanya Gea membatin, ada apa perwira ini menghadap Prabowo sementara ia bukan lagi anak buah langsung Pak Prabowo. “Dik, saya ingin menghadap Danjen Kopassus, sangat penting” kata Lekol itu pada Gea. (namanya perwira itu tidak disebutkan, tetapi ia berpangkat Letkol).
Sebagai ajudan, ia kemudian melaporkan ke Pak Prabowo. Tanpa basa-basi, Pak Prabowo memerintahkan Gea untuk mengajak letkol yang ingin menghadap itu. “Segera antar ke sini, beliau itu mantan anggota saya di kesatuan, pasti sangat penting sehingga ia ingin menemui saya,” sergah Prabowo.
Saat bertemu kata Gea, wajah perwira ini cukup cemas seolah-olah punya beban berat. “Silahkan sampaikan apa yang ingin saudara sampaikan,” kata Prabowo. Mendapat peluang itu sang Letkol menceritakan kondisi logistik di kesatuannya sangat menipis, sehingga ia butuh dana sesegera mungkin agar bisa menutupi kebutuhan pasukan di kesatuannya. Tetapi tak tahu kemana ia harus membicarakan hal ini, dan ia memilih menemui Pak Prabowo, sebagai perwira yang juga pernah memimpin di kesatuan itu.
Mendengar hal itu, Prabowo tanpa basa-basi pula meminta Gea mengeluarkan selembar cek dan menuliskan angka ratusan juta rupiah untuk dicairkan di Bank Perindustrian. “Segara urus pasukanmu dengan baik, semoga dana ini cukup untuk anak buahmu,” kata Prabowo pada perwira logistic itu.
Di benak Gea, kok Prabowo begitu mudah mengeluarkan dana pribadinya pada kesatuan yang tak lagi dipimpinnya? Tetapi ia enggan bertanya. Yang teringat hanyalah fasilitas Treadmill yang pernah ingin dibeli Pak Prabowo. Karenanya Gea juga memanfaatkan kesempatan itu dengan mengeluarkan selembar cek untuk ditandatangani pimpinannya itu.
Prabowo menoleh pada Gea dan bertanya, “untuk apa lagi cek itu Gea!” tanyanya. “Siap Pak, untuk kebutuhan fasilitas alat olah raga lari Bapak” jawab Gea. Mendengar hal itu, Prabowo dengan tegas dan lantang berkata; “Kamu harus tahu, kebutuhan prajurit jauh lebih penting dari alat lari yang tak penting itu,” tegas Prabowo.
Setelah sang perwira logistik itu pamit pulang. Gea terdiam ia tak lagi banyak bicara. ia merasa sangat bersalah dan ketakutan. Karenanya ia tak berani lagi menyinggung fasilitas treadmill itu hingga karirnya sebagai ajudan berakhir. Tetapi mengenang cerita itu, ia paham jika pimpinannya itu punya kepedulian besar pada nasib banyak orang, sementara ia merasa lucu dengan tingkahnya menyodorkan selembar cek, dengan harapan Prabowo bisa menikmati kebutuhannya sendiri.
Tetapi ia enggan bicara banyak alasan-alasan kemundurannya. Sebab ia sangat menghormati lembaga yang pernah membesarkannya itu. “Bicara TNI, sampai akhir hidup saya tetap menjadi kebanggaan meski saya memilih pensiun muda, itu privacy saya. Yang pasti kesetiaan ini tak terbatas untuk seorang jenderal bernama Prabowo Subianto,” katanya singkat.
Sembari diskusi kecil tentang pergerakan politik Pak Prabowo jelang Pilpres, tiba-tiba Gea tergelak setelah melihat treadmill yang dipajang di salah satu etalase. (treadmill; fasilitas olah raga lari dan jogging yang biasa dipakai di ruangan). “Bang, fasilitas treadmill seperti ini membuat saya pernah gemetaran di depan Pak Prabowo,” katanya sembari tertawa keras, seolah-olah ia mengingat sesuatu yang teramat lucu.
Gea kemudian bercerita panjang soal treadmill ini. Katanya, suatu waktu Pak Prabowo dari Jalan Cendana menyempatkan diri jalan-jalan ke kawasan Plaza Indonesia, dan mencoba menikmati treadmill. “Bagus juga fasilitas ini ya, olah raga bisa di ruangan saja?” kata Prabowo pada ajudannya itu. Gea hanya berkata “siap!” sebagai tanda setuju.
Pak Prabowo meminta Gea mengecek harga treadmill itu, siapa tahu bisa dibelinya. Namun ternyata barang itu tak jadi dibelinya. Entah karena alasan apa. Padahal di benak Gea sebagai ajudan, uang Prabowo cukup banyak untuk membeli barang itu. Tentu karena ia seorang perwira tinggi militer dengan posisi Danjen Kopassus, mantu Pak Harto dan anak dedengkot ekonomi besar bangsa ini. Sehingga tak ada alasan tidak cukup uang untuk membelinya.
Sepintas Gea berpikir jika komandannya itu, mungkin memilih waktu dan kesempatan lain untuk mendapatkannya. Karenanya ia tetap mengingat-ingat, kapan-kapan Pak Prabowo membutuhkan barang itu. Yang pasti Gea merasa barang itu sangat dibutuhkan Pak Prabowo, sehingga ia mencatatnya dalam buku hariannya, was-was jika ia sampai lupa dengan kebutuhan pimpinannya itu.
Jelang sepekan setelah ‘acara mencoba’ Treadmill di Plaza Indonesia, di suatu malam Prabowo kedatangan seorang perwira logistik dari sebuah kesatuan pasukan yang pernah dipimpin Pak Prabowo beberapa tahun sebelumnya. Karenanya Gea membatin, ada apa perwira ini menghadap Prabowo sementara ia bukan lagi anak buah langsung Pak Prabowo. “Dik, saya ingin menghadap Danjen Kopassus, sangat penting” kata Lekol itu pada Gea. (namanya perwira itu tidak disebutkan, tetapi ia berpangkat Letkol).
Sebagai ajudan, ia kemudian melaporkan ke Pak Prabowo. Tanpa basa-basi, Pak Prabowo memerintahkan Gea untuk mengajak letkol yang ingin menghadap itu. “Segera antar ke sini, beliau itu mantan anggota saya di kesatuan, pasti sangat penting sehingga ia ingin menemui saya,” sergah Prabowo.
Saat bertemu kata Gea, wajah perwira ini cukup cemas seolah-olah punya beban berat. “Silahkan sampaikan apa yang ingin saudara sampaikan,” kata Prabowo. Mendapat peluang itu sang Letkol menceritakan kondisi logistik di kesatuannya sangat menipis, sehingga ia butuh dana sesegera mungkin agar bisa menutupi kebutuhan pasukan di kesatuannya. Tetapi tak tahu kemana ia harus membicarakan hal ini, dan ia memilih menemui Pak Prabowo, sebagai perwira yang juga pernah memimpin di kesatuan itu.
Mendengar hal itu, Prabowo tanpa basa-basi pula meminta Gea mengeluarkan selembar cek dan menuliskan angka ratusan juta rupiah untuk dicairkan di Bank Perindustrian. “Segara urus pasukanmu dengan baik, semoga dana ini cukup untuk anak buahmu,” kata Prabowo pada perwira logistic itu.
Di benak Gea, kok Prabowo begitu mudah mengeluarkan dana pribadinya pada kesatuan yang tak lagi dipimpinnya? Tetapi ia enggan bertanya. Yang teringat hanyalah fasilitas Treadmill yang pernah ingin dibeli Pak Prabowo. Karenanya Gea juga memanfaatkan kesempatan itu dengan mengeluarkan selembar cek untuk ditandatangani pimpinannya itu.
Prabowo menoleh pada Gea dan bertanya, “untuk apa lagi cek itu Gea!” tanyanya. “Siap Pak, untuk kebutuhan fasilitas alat olah raga lari Bapak” jawab Gea. Mendengar hal itu, Prabowo dengan tegas dan lantang berkata; “Kamu harus tahu, kebutuhan prajurit jauh lebih penting dari alat lari yang tak penting itu,” tegas Prabowo.
Setelah sang perwira logistik itu pamit pulang. Gea terdiam ia tak lagi banyak bicara. ia merasa sangat bersalah dan ketakutan. Karenanya ia tak berani lagi menyinggung fasilitas treadmill itu hingga karirnya sebagai ajudan berakhir. Tetapi mengenang cerita itu, ia paham jika pimpinannya itu punya kepedulian besar pada nasib banyak orang, sementara ia merasa lucu dengan tingkahnya menyodorkan selembar cek, dengan harapan Prabowo bisa menikmati kebutuhannya sendiri.
Komentar
Posting Komentar